Jumat, 15 Mei 2009

TUGAS GEOGRAFI artikel mengenai Hutan Mangrove

Untuk komunitas yang pertama saya melihat komunitas hutan mangrove terlebih dahulu..

Mangrove adalah suatu komunitas tumbuhan atau suatu individu jenis tumbuhan yang membentuk komunitas tersebut di daerah pasang surut. Hutan mangrove adalah tipe hutan yang secara alami dipengaruhi oleh pasang surut air laut, tergenang pada saat pasang naik dan bebas dari genangan pada saat pasang rendah. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas lingkungan biotik dan abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu habitat mangrove.

Kata mangrove adalah kombinasi antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove. Adapun dalam bahasa Inggris kata mangrove digunakan untuk menunjuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang-surut maupun untuk individu-individu spesies tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut. Sedangkan dalam bahasa portugis kata mangrove digunakan untuk menyatakan individu spesies tumbuhan, sedangkan kata mangal untuk menyatakan komunitas tumbuhan tersebut.

Sebagian ilmuwan mendefinisikan, hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan reaksi tanah an-aerob. Sebagian lainnya mendefinisikan bahwa hutan mangrove adalah tumbuhan halofit (tumbuhan yang hidup pada tempat-tempat dengan kadar garam tinggi atau bersifat alkalin) yang hidup disepanjang areal pantai yang dipengaruhi oleh pasang tertinggi sampai daerah mendekati ketinggian rata-rata air laut yang tumbuh di daerah tropis dan sub-tropis.

Secara ringkas hutan mangrove dapat didefinisikan sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama di pantai yang terlindung, laguna, muara sungai) yang tergenang pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam. Ada beberapa istilah lain dari hutan mangrove antara lain: Tidal Forest (hutan pasang surut), Coastal Woodland (kebun kayu pesisir), Hutan Payau, dan Hutan bakau.

Ekosistem hutan mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang tertinggi di dunia, seluruhnya tercatat 89 jenis. Beberapa jenis pohon yang banyak dijumpai di wilayah pesisir Indonesia adalah bakau (Rhizophora sp), api-api (Avicennia sp), pedada (Sonneratia sp), tanjang (Bruguiera sp), nyirih (Xylocarpus sp), tenger (Ceriops sp) dan, buta-buta (Exoecaria sp).

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan mangrove terbesar dan memiliki kekayaan hayati yang paling banyak. Luas hutan mangrove di Indonesia mencapai 3,2 juta hektare, walaupun belakangan ini dilaporkan lebih dari 50 persen jumlah hutan itu sudah rusak.

Indonesia memiliki 75 persen hutan mangrove yang ada di Asia, dan 27 persen hutan mangrove yang ada di dunia. Sebagian besar mangrove itu berada di pesisir Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Kondisi itu sebenarnya terus menurun sekitar 200 hektare per tahun akibat berbagai faktor yang terjadi di lokasi-lokasi hutan itu.
Hal ini karena di Indonesia, nilai pemanfaatan hutan mangrove masih bernilai rendah karena masih sebatas eksploitatif. Selain itu, minimnya perhatian terhadap pelestarian kawasan hutan itu dari berbagai pihak menjadikan pembukaan lahan hutan semakin menjadi-jadi dalam skala besar dan waktu yang cepat.

Kerusakan kawasan hutan mangrove yang paling parah terutama di sekitar delta Mahakam, Kalimantan Timur. Kawasan hutan yang didominasi pohon nipah itu hanya terjadi pembukaan lahan tambak udang sekitar 15.000 hektar pada tahun 1997. Namun, dalam tujuh tahun terakhir, hutan mangrove yang dibuka sudah sekitar 74.000 hingga 80.000 hektare, dan sisanya pun rusak cukup parah.

Di wilayah Cilacap, Jawa Tengah, terjadi penyusutan hutan mangrove sejak tahun 1998. Sejumlah warga di beberapa desa yang berada di sekitar Teluk Segara Anakan mengalami penurunan perolehan ikan. Mereka akhirnya berubah profesi menjadi perajin gula kelapa. Dalam proses pembuatan gula kelapa itu dibutuhkan kayu-kayu untuk pembakaran. Ironisnya warga pun menggunakan kayu mangrove untuk kayu bakar sehingga terjadi penyusutan 0,872-1,079 meter kubik per hari.

Secara umum dari 35.338 hektare hutan mangrove di Jawa Tengah (Jateng), 94 persen diantaranya rusak. Sekitar 61 persen rusak parah dan 33 persen rusak ringan. Penyebab kerusakan adalah terjadinya alih fungsi hutan mangrove menjadi perumahan, tambak, polusi laut, reklamasi, serta kawasan wisata pantai. Kerusakan lainnya terjadi di seluruh jalur pantai utara.

Kerusakan hutan mangrove juga terjadi di Sumatra Utara (Sumut). Sebanyak 60,07 dari 83.550 hektare (ha) hutan mangrove rusak akibat perambahan tambak udang, penebangan untuk bahan baku arang bakau dan ekspansi daerah pemukiman.

Kawasan hutan mangrove yang paling rusak di Kabupaten Langkat, sebanyak 25.300 ha dari luas lahan 35.300. Di Kabupaten Asahan dan Kabupaten Tanjung Balai sebanyak 12.900 ha dari luas lahannya 14.400 ha. Di Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Serdang Bedagai terdapat 12.400 ha yang rusak dari luas lahan 20.000. Di Kabupaten Nias 650 ha yang rusak dari luas lahan 7.200 ha. Di Kabupaten Labuhan Batu terdapat 500 ha dari luas lahan 1.700 ha. Di Kabupaten Tapanuli Tengah 200 ha dari luas lahan 1.800 ha, di Kabupaten Madina terdapat kerusakan 200 ha dari 2.900 ha dan di Pemerintah Kota Medan kerusakan 150 ha dari luas lahan 250 ha. Kebanyakan lahan hutan manggrove di Langkat dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit. Ini dilakukan masyarakat dan pengusaha.

Berdasarkan hasil evaluasi Balai Pengelola Hutan Mangrove Departemen Kehutanan, sedikitnya 50 persen lahan hutan mangrove di seluruh Indonesia berada dalam kondisi rusak. Adapun kerusakan ini salah satunya dipercepat oleh program alih fungsi lahan mangrove sehingga luas areal hutan mangrove semakin menyempit dari yang sebelumnya 9,3 juta hektar menjadi 6,6 juta hektar. Sedangkan dari 6,6 juta hektar luas hutan mangrove yang ada saat ini, hanya 4,5 juta hektar yang ditumbuhi mangrove.

Kepala Balai Pengelola Hutan Mangrove Wilayah I Departemen Kehutanan, Sasmitohadi, menyatakan bahwa selain akibat alih fungsi lahan, kerusakan hutan mangrove juga diakibatkan adanya penebangan liar dan pencemaran. “Kerusakan lain ini diakibatkan pencemaran, baik pencemaran oleh limbah pabrik maupun pencemaran yang terjadi di kilang minyak Cilacap tepatnya di Sungai Donan. Di lokasi ini banyak sekali mangrove mengalami gangguan akibat limbah minyak. Limbah kapal dan sebagainya termasuk sampah” papar Sasmitohadi.

Selanjutnya Sasmitohadi menambahkan bahwa hutan mangrove terluas di Indonesia saat ini berada di Papua, Kalimantan dan Sumatra. Namun sayangnya hingga kini belum ada aturan perundang-undangan yang khusus mengatur tentang pengelolaan hutan mangrove.

Ini hanya sebagian kecil informasi kerusakan hutan mangrove yang ada di Indonesia, masih banyak lagi kerusakan lainnya yang mungkin belum terdata. Betapa ironisnya, Indonesia sebagai negara kepulauan dengan daerah pesisir yang luas ternyata tidak bisa melestarikan kekayaan alam yang telah dianugrahkan Allah.

Usaha penghijauan atau reboisasi hutan mangrove telah berulang kali dilakukan di beberapa daerah, baik di pulau Jawa, Sumatra, Sulawesi, maupun Irian Jaya. Upaya ini biasanya berupa proyek yang berasal dari Departemen Kehutanan ataupun dari Pemda setempat. Namun hasil yang diperoleh relatif tidak sesuai dengan biaya dan tenaga yang dikeluarkan oleh pemerintah. Padahal dalam pelaksanaannya tersedia biaya yang cukup besar, tersedia tenaga ahli, tersedia bibit yang cukup, pengawasan cukup memadai, dan berbagai fasilitas penunjang yang lainnya.

Salah satu penyebabnya adalah kurangnya peran serta masyarakat dalam ikut terlibat upaya pengembangan wilayah, khususnya rehabilitasi hutan mangrove; dan masyarakat masih cenderung dijadikan obyek dan bukan subyek dalam upaya pembangunan.

Padahal, dengan keberhasilan merehabilitasi hutan mangrove akan berdampak pada adanya peningkatan pembangunan ekonomi- khususnya dalam bidang perikanan, pertambakan, industri, pemukiman, rekreasi dan lain-lain. Kayu tumbuhan mangrove dapat dimanfaatkan sebagai bahan bangunan dan kayu bakar, bahan tekstil dan penghasil tanin, bahan dasar kertas, keperluan rumah tangga, obat dan minuman, dan masih banyak lagi lainnya. Hutan mangrove juga berfungsi untuk menopang kehidupan manusia, baik dari sudut ekologi, fisik, maupun sosial ekonomimisalnya untuk menahan ombak, menahan intrusi air laut ke darat, dan sebagai habitat bagi biota laut tertentu untuk bertelur dan pemijahannya. Hutan mangrove dapat pula dikembangkan sebagai wilayah baru dan untuk menambah penghasilan petani tambak dan nelayan, khususnya di bidang perikanan dan garam.

Di samping itu, hutan mangrove sebagai suatu ekosistem di daerah pasang surut, kehadirannya sangat berpengaruh terhadap ekosistem-ekosistem lain di daerah tersebut. Pada daerah ini akan terdapat ekosistem terumbu karang, ekosistem padang lamun, dan ekosistem estuari yang saling berpengaruh antara ekosistem yang satu dengan lainnya. Dengan demikian, terjadinya kerusakan/gangguan pada ekosistem yang satu tentu saja akan mengganggu ekosistem yang lain. Sebaliknya seperti diuraikan di atas keberhasilan dalam pengelolaan (rehabilitasi) hutan mangrove akan memungkinkan peningkatan penghasilan masyarakat pesisir khususnya para nelayan dan petani tambak karena kehadiran hutan mangrove ini merupakan salah satu faktor penentu pada kelimpahan ikan atau berbagai biota laut lainnya.

Mengingat banyaknya manfaat yang dapat diperoleh dengan keberadaan hutan mangrove, dengan ini masyarakat, khususnya masyarakat pesisir harus turut diberdayakan dalam usaha pelestarian maupun rehabilitasi hutan mangrove. Baik dengan memberikan peningkatan pengetahuan masyarakat akan pentingnya ekosistem hutan mangrove, maupun dengan turut memberdayakan masyarakat dalam usaha rehabilitasi hutan mangrove tersebut. Masyarakat tidak seharusnya hanya dijadikan sebagai objek pembangunan, tetapi sebagai subjek pembangunan, khususnya dalam masalah rehabilitasi hutan mangrove. Dengan demikian Pendekatan botom-up perlu untuk digalakkan dan bukan sebaliknya mengingat dewasa ini masyarakat adalah sebagai ujung tombak dalam suatu kegiatan pembangunan di desa. Dengan turut diberdayakannya masyarakat dalam usaha rehabilitasi hutan mangrove diharapkan usaha pelestarian hutan mangrove akan menunjukkan hasil yang lebih baik.

Sumber :
1. one.indoskripsi.com/node/4677
2. http://www.indosmarin.com/20090314-50-persen-hutan-mangrove-di-indonesia-kondisinya-rusak-parah.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar